11:13:00 PM
0
Selamat Pagi, Siang, Sore, Malam.....!!!
Baiklah pada kesempatan kali ini kita coba membahas mengenai Bdapest Convention on Cybercrime, serta posisinya dalam system hukum di Indonesia, sejauh mana relevansi, makna, atau uraian cybercrime yang ada pada Budapest convention tersebut dengan kondisi terkini cybercrime yang terjadi.
Budapest Convention on Cybercrime atau biasa disebut sebagai konvensi budapes atau Konvensi cybercrime adalah konvensi perjanjian internasional yang pertama kali dilaksanakan pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapes, Hongoria. Tujuan dari konvensi ini adalah untuk mengatasi kejahatan khususnya kejahatan yang berhubungan dengan teknologi informasi dan komunikasi atau yang berhubungan dengan komputer dan internet, dengan menyelaraskan hukum nasional, meningkatkan proses investigasi serta meningkatkan kerjasama antar negara. Konvensi Budapest dibuat oleh Dewan Eropa di Strashburg dengan para dewan dari Negara pengamat eropa yaitu Kanada, Jepang, dan Cina. Konvensi ini dikenal dengan Convensi on Cybercrime yang kemudian dimasukkan kedalam European Treaty Series dengan Nomor 185. Subtansi konvensi mencangkup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan criminal yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cybercrime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional.
Adapun tujuan dan pertimbangan diselenggarakannya konvensi Budapest menurut Amrulloh, dkk (2009) adalah :
  1. Harmonisasi unsur-unsur hukum domestic pidana substantif pelanggaran di bidang kejahatan cybercrime, yang merujuk dan sesuai dengan undang-undang  yang berlaku dan mendorong kerjasama internasional. 
  2. Menyediakan untuk pidana kekuatan domestic procedural hukum yang diperlukan untuk investigasi dan penuntutan tindak pidana tersebut serta pelanggaran lainya yang dilakukan dengan menggunakan sistem komputer atau bukti dalam kaitanya dengan yang dibentuk elektronik.
  3. Mempersiapkan sebuah cara yang efektif untuk melakukan kerjasama internasional antara negara.
Berikut ini adalah beberapa bentuk kejahatan siber yang ada didalam European Convention on Cybercrime adalah sebagai berikut :
  1.  Content Illegal (Konten Ilegal)
    Bentuk kejahatan dari Konten Ilegal ini adalah memasukkan data atau informasi ke internet yang dapat diakses oleh orang lain yang berisikan konten tidak baik dan melanggar hukum serta ganguan ketertiban hukum.
  2. Illegal Akses (Akses Ilegal)
    Bentuk dari kejahatan ini adalah mengakses sistem komputer tanpa izin dari pemiliknya, mencakup pelanggaran dasar dari ancaman-ancaman yang berbahaya dari segi serangan keamanan data dan sistem komputer,
  3. Illegal Interception (Penyadapan Ilegal)
    Kegiatan menangkap atau mendengar pengiriman dan pemancaran tanpa izin.
  4. Data Interference (Gangguan Data)
    Kegiatan ini adalah kegiatan pengrusakan data tanpa izin. Ketentuan pengerusakan data menjadi tindak pidana bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap data komputer dan program komputer sebagaimana dengan benda-benda berwujud. Sebagai contoh adalah memasukan kode-kode jahat (malicous codes), Viruses, dan Trojan Hours eke suatu sistem komputer yang merupakan pelanggaran menurut ketentuan pasal ini.
  5. System Interference (Ganguan Sistem)
    Kegiatan yang dilakukan dalam System Interference adalah memasukkan, menyebarkan, merusak, menghapus atau menyembunyikan data komputer sehingga mengganggu sistem.
  6. Misuse of Device (Penyalagunaan Perangkat)
    Penyalagunaan perangkat yang dimaksud adalah hardware maupun software yang dimodifikasi untuk mendapatkan akses dari sebuah komputer atau jaringan.
  7. Computer-related forgery (Pemalsuan yang berhubungan dengan Komputer)
    Kegiatan ini adalah kegiatan pemalsuan yang berkaitan dengan teknologi informasi atau komputer.
  8. Computer-related fraud ( Penipuan yang berhubungan dengan Komputer)
    Kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan penipuan dan pemalsuan yang berhubungan dengan komputer.
  9. Content Related Offences ; Child Pornography
    Kegiatan yang berisikan konten-konten pornografi anak.
  10. Offences related to infringements of copyright and related rights
    Kegiatan yang berhubungan dengan pelanggaran hak cipta atau hak yang terkait.
Hasil dari Budapest convention ini kemudian diterbitkan kedalam European Treaty Series (surat perjanjian Eropa), setelah konvensi itu berlagsung banyak negara-negara yang mulai melakukan ratifikasi untuk diterapkan dalam hukum nasional mereka.
Semua perbuatan dan jenis kejahatan Cybercrime yang dimuat di Budapest Convention tersebut semuanya telah diatur didalam UU ITE No. 11 Tahun 2008, UU Tentang Hak Cipta No. 44 Tahun 2008, dan UU Tentang Pornografi Anak No. 28 Tahun 2014.
Berikut ini tabel relevansi sistem hukum Budapest Convention dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.

  Tabel  : Relevansi dengan sistem hukum di Indonesia


Dari table di atas kita dapat melihat keterkaitan antara kenvensi Budapest dan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Setiap pasal-pasal dalam Budapest telah terpenuhi dalam Undang-Undang di Indonesia, oleh karena itu Indonesia tidak meretifikasi Budapest terhadap Cybercrime. Hanya saja di Article 9 Konvensi Budapest hanya menyangkut Pornografi kalangan anak-anak sedangkan Undang-Undang di Indonesia dalam hal ini UU Pornografi tidak di batasi hanya kalangan anak-anak namun juga di seluruh kalangan usia.

Dalam konteks negara Indonesia, pada tahun 2013, berdasarkan laporan State of The Interner, Indonesia berada di urutan kedua dalam daftar lima besar negara asal serangan kejahatan Cybercrime. Selain itu Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombespol Agung Setya mengatakan, dalam kurung waktu tiga tahun terakhir, tercatat 36,6 juta serangan cybercrime terjadi di Indonesia. Hal ini sesuai dengan data Security Thereat yang menyebutkan Indonesia adalah negara paling beresiko mengalami serangan Cybercrime. Sementara itu pada tahun 2016 merujuk pada rilis portal berita online, kasus kejahatan di dunia maya atau Cybercrime menjadi kasus paling banyak yang ditangani Ditreskrimsus Polda Metro Jaya di sepanjang tahun 2016. Dari 1.627 kasus yang ditangani, 1.207 atau sekitar 70% kasus merupakan kasus Cybercrime.

Dari sekitar 1000 kasus cyber paling banyak mengenai kasus pencemaran nama baik melalui social media. Sejak 2012 hingga april 2015, Subdit IT/Cybercrime  Polda Metro menangkap 497 orang tersangka kasus Cybercrime, 389 orang diantaranya merupakan Warga Negara Asing (WNA), dan 108 orang merupakan Warka Negara Indonesia (WNI). Menurut data Telemaika Sharing Vision, Indonesia mendapat sekitar 42 ribu serangan dunia maya per harinya. Berdasarkan data Norton By Symantic priode januari 2015 hingga Februari 2016, total kerugian finansial akibat serangan Cybercrime di Indonesia mencapai 194,6 miliar atau 7,6 juta per korbanya.

Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia masih rentang dengan kejahatan dunia maya atau Cybercrime. Dan media social maupun taransaksi yang menggunakan teknologi informasi harus mendapatkan perhatian khusus dari tim Cybercrime kepolisian, serta masyarakat diberikan sosialisasi tentang penggunaan teknologi informasi yang baik dan mengenalkan UU ITE kepada masyarakat agar kedepanya kejahatan dunia maya (Cybercrime) dapat diminimalisir.

 Referensi :
  1. Amirulloh, M., Padmanegara, I., & Anggraeni, T. D. (2009). Kajian EU Convention on Cybercrime dikaitkan dengan Upaya Regulasi Tindak Pidana Teknologi Informasi.Referensi
  2. Putra, A. K. (2014). Harmonisasi Konvensi Cyber Crime dalam Hukum Nasional. Jurnal Ilmu Hukum.
  3. Republik Indonesia. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Hak Cipta 
  4. Republik Indonesia. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. 
  5. Republik Indonesia. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Anak.

0 komentar :

Post a Comment